Guru Simalakama Versus Guru Primadona para Murid Generasi Milenial


Guru Simalakama Versus Guru Primadona para Murid Generasi Milenial

Apa sih yang dimaksud dengan Generasi Milenial itu? Generasi Milenial adalah kelompok demografi setelah Generasi X. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Mereka yang lahir pada tahun tersebut disebut generasi milenial karena mereka pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923 [1].
Dengan semakin banyaknya penemuan baru dalam dunia teknologi, semakin banyak pula perubahan dalam metode belajar mengajar. Sebelum tahun 90’an, para pengajar masih menggunakan kapur tulis sebagai media pengajaran. Namun di tahun 90an sampai sekarang, para pengajar perlahan-lahan mulai menggunaan perangkat seperti projektor, PC (Personal Computer), Laptop, Tablet, dan bahkan hanya dengan menggunakan telepon selular yang terhubung langsung dengan projektor.
Presiden Director Ericsson Indonesia, Thomas Jul, menyatakan bahwa generasi millenials menggunakan PC, smartphone, tablet, dan televisi  27 kali setiap jamnya serta menghabiskan 18 jam perhari untuk menikmati layanan tontonan melalui layanan internet [2]
Perkembangan teknologi dan semua perangkatnya tersebut serta merta berpangaruh besar terhadap cara pandang dan juga keinginan para peserta didik generasi milenial saat ini. Perubahan tersebut sangat berpengaruh juga terhadap karakteristik guru/dosen yang mereka idamkan di jaman ini.
Setelah melalui berbagai observasi dan juga wawancara terhadap peserta didik, menurut sebagian besar mahasiswa dan siswa bahwa pengajar/dosen yang mereka sukai dan idam-idamkan adalah sebagai berikut:
  • Guru gaul: Dosen yang yang memakai bahasa gaul saat mengajar; yang memperbolehkan mereka menggunakan telefon genggam di saat belajar dan juga pada saat ujian.
  • Guru baik/murah hati: Dosen yang tidak memberikan tugas/pekerjaan rumah kepada mereka; dosen yang tidak ketat dalam hal jam masuk dan keluar kelas perkuliahan; dosen yang meluluskan mereka dengan tanpa adanya ujian tertulis. [3]
Para pendidik dalam hal ini seperti disuruh memakan buah simalakama. Di satu sisi, para pendidik yang mencoba untuk menjadi seorang pengajar yang gaul dan dekat dengan para siswa  sering kali membuat siswa menjadi malas belajar, kurang hormat pada guru dan tidak patuh pada peraturan. Sedangkan para pendidik yang tegas menjadi sosok yang paling dibenci oleh para siswa.
Meskipun demikian, sebagai seorang pengajar diharapkan tetap berteguh pada prinsip dasar bahwa guru adalah orangtua kedua siswa di sekolah. Lupakan label “guru killer, guru kuper, atau label negatif lainnya dari para siswa. Kita tidak tidak perlu “baper” -- terlalu dibawa perasaan”. Semoga para pendidik di jaman milenial ini tetap berdiri dalam koridornya yakni melakukan kewajiban mulianya mencetak generasi milenial yang bermutu ilmunya dan juga baik akhlaknya. Karena ilmu yang tinggi tanpa dilandasi moral yang baik bagaikan merakut bom bunuh diri. 
Mari kita singsingkan lengan, bekerja dan berjuang mempersiapkan anak-anak didik kita menjadi anak panah bangsa agar dapat menancap tepat pada papan impian mereka dalam pertarungan global ini. Suatu hari nanti, kita akan tersenyum dalam indahnya keriput di pipi kita melihat mereka terbang menukik, mengitari dunia dalam balutan sayap mereka yang telah kita rajut saat mereka di bawah naungan didikan kita. Sayap-sayap yang juga nantinya akan menjaga dan melindungi kita di hari tua kita nanti. *end*



Referensi:


[3] Tambunsaribu, Gunawan. (2018). Guru Simalakama Versus Guru Primadona para Murid Generasi Millenial: dalam Seminar Nasional Kebijakan Pendidikan dan Kompetisi Esai Nasional 2018. UNJ Jakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuhan,,,jangan KUTUK Indonesiaku....

DUKA INDONESIAKU