CERITA DAN IMPIANKU
CERITA DAN IMPIANKU
Aku disini, sedang
mendengarkan lagu-lagu syahdu yang ku dengar dan ku saksikan di layer televise
yang ada di kamarku. Aku terhanyut ke dalam syair-syair indah yang di lantunkan
para penyanyi yang sedang ada di panggung yang anggun itu. Aku jadi merasa iri
kepada mereka. Aku sering berpikir dan merasa dunia ini tak adil bagiku. Aku
sejak dari kecil sering merasa tersisih dan tak ada yang mendengar suara
hatiku. “Aku ingin seperti mereka dan bahkan ingin lebih dari mereka”, kalimat
itu sering ku dengar dari dalam hatiku sendiri. Kini di usiaku yang tak belia
lagi, aku semakin takut aku tak bisa seperti mereka.
Aku ingin bercerita masa
kecilku. Aku adalah seorang anak yang berasal dari keluarga besar. Aku adalah
anak tengah dari delapan bersaudara. Aku hidup dari mata pencaharian orangtuaku
yang pas-pasan. Dari keadaan keluargaku yang sangat memprihatinkan waktu aku
kecil, aku jadi tercipta jadi seorang anak yang sering rendah diri. Entah itu
disengaja oleh alam atau itu adalah takdir yang harus kuterima dari kuasa Tuhan
yang tak bisa ku ubah?, aku pun tak tahu. Yang aku tahu, aku ada di dunia ini
adalah hasil perkawinan ayah dan ibuku hingga aku terlahir di dunia yang ku
anggap tak adil ini. Tidak banyak pelajaran tentang hidup yang kuterima dari
ayah dan ibuku. Yang ada di otakku dan pikiranku adalah hanya selalu mencoba
untuk bertahan hidup sebagaimanapun kerasnya jalan hodup ini. Banyak
kesenjangan sosial yang aku lihat terjadi di muka bumi yang sekarang kupijak.
Sejak kecil aku tak bisa merasakan bermanja-manja di pelukan kedua orangtuaku.
Hidupku mengalir dan berjalan dari kampung yang satu ke kampung yang lain; dari
kota yang satu ke kota yang lain. Perubahan yang aku alami adalah perubahan
yang terjadi secara alami dari kehidupan yang aku jalani setiap harinya.
Sejak kecil aku selalu melihat
pertengkaran ayah dan ibuku, dasarnya adalah masalah ekonomi keluarga. Sejak
masa kecil aku sudah terbiasa membantu kedua orangtuaku bersama dengan
saudara-saudaraku dengan bekerja giat di ladang. Selesai belajar di sekolah,
kami harus langsung bekerja sampai sore bahkan sesekali sampai tengah malam.
Pekerjaan rumah semuanya bisa kami kerjakan, karena memang itulah sebagian
perjuangan dan pengorbanan hidup kami untuk kedua orangtua kami. Memikul
benda-benda berat yang harusnya belum layak kami pikul. Berjuang di sekolah
menjadi seorang siswa yang pintar sedangkan gizi yang kami peroleh terbilang
sangat kurang. Untungnya kami tak pernah mengeluh dan hanya bisa terus bertahan
dan berharap di suatu hari nanti aku dan saudara-saudaraku bisa menjadi
anak-anak yang bisa membuat orangtua kami bangga meskipun terlahir dari
keluarga yang sangat sederhana sekali.
Setelah lulus sekolah dasar,
kedua orang tuaku menyekolahkanku ke kota yang jauh dari kampung halamanku.
Dengan di bekali sedikit kata-kata bija dan nasihat, aku pun berangkat dan
melnjutkan hidup di daerah yang masih sangat asing bagiku. Namun inilah yang
terus berjalan dalam hidupku dan saudara-saudaraku...”Terus bertahan”. Sekian
kali aku ingin menangis karena kerasnya perjalanan hari-hariku, tiada satu pun
yang bisa kujadikan tempat pengaduanku. Tak ada seorang pun yang bisa menampung
semua rasa sedihku. Begitupun di saat aku merasa senang, tak ada satu pun yang
bisa ku ajak untuk berbagi tawa. Kadang-kadang hatiku terpuruk, tetapi dengan
kepercayaan kepada sang khalik “Tuhanku”, aku pun bangkit dari kelemahan hatiku
dan bangkit kembali untuk menjadi anak yang kuat. Rasa rindu kepada kedua
orangtuaku dan saudara-saudaraku hanya bisa kusimpan dan kureguk kembali ke
dalam hatiku yang paling dalam hingga tak ada satu orang pun yang bisa melihat
kelemahan hatiku karena rasa rindu yang terus terpendam. Masa libur semester
sekolah, aku pun hanya bisa bertemu dengan orangtuaku sebentar saja. Tapi tak
ada namanya menikmati liburan dengan bersenang-senang dan berlibur ke tempat
wisata seperti anak-anak lainnya yang dipenuhi dengan kebahagaiaan dan
keceriaan karena berlibur ke tempat-tempat wisata yang indah bersama
keluarganya. Tetapi aku dan saudara-saudaraku mempunya tempat wisata yang indah
yaitu ladang tempat kami berkumpul dan bekerja sama membantu orangtua kami
mengumpulkan sedikit uang agar kami bisa terus melanjutkan sekolah dan makan
sesuap nasi setiap harinya. Itulah tempat yang paling indah yang bisa kami
lihat setipa hari libur maupun hari-hari biasa.
Aku masih bisa tersenyum bila
ku ingat masa kecilku. Saat itu aku ingin mengikuti lomba cerdas tangkas ke
sekolah yang berada di kecamatan. Aku dipanggil secara mendadak oleh guruku
untuk mengikuti lomba itu berserta dengan dua teman sekelasku. Waktu itu
seragamku masih berwarna merah-putih (sekolah dasar), warna bendera Indonesia
bangsa kebangaanku. Tiba-tiba saat naik ke kapal, guruku yang cantik dan
penyabar itu mendekatiku dan membertahuku kalau dia ingin menjahit restleting
celanaku yang memang sudah rusak. Saat itu aku juga belum mengenal “celana
dalam”. Karena tak ada waktu lagi dan tak mungkin mencari jarum di atas perahu,
guruku pun mencari sebuah peniti dalam tasnya dan mengaitkannya persis di
tengah restleting celana merahku. Hal itu sedikit menolong kerapianku, dan
menolong agar, Maaf..”kemaluanku” tak terlihat di depan orang banyak nanti.
Itulah pengorbanan seorang guru yang menyayangi siswanya. Itulah kejadian yang
membuatku tahu apa artinya kerapian. Memang.....meskipun aku termasuk siswa
yang “di anggap” di sekolahku karena prestasiku, tetapi untuk kerapian pakaian,
maksudku perlengkapan sekolah”, aku tidak punya dan bahkan jauh dari yang
dipunyai teman-temanku. Mereka setiap tahunnya bisa memakai seragam baru 2 sampai
3 kali bahkan lebih dari itu. Sedangkan aku, aku hanya bisa memakai seragam
bekas kakak-kakakku atau dari hasil pemberian orang lain. Tetapi waktu itu aku
tak bisa menuntut apa-apa dari kedua orangtuaku karena aku tahu diri dan
mengenal siapa aku dan aku berasal dari keluarga apa. Mungkin Tuhan sudah
memberikan ‘kota pengertian’ di hatiku dan saudara-saudaraku agar bisa memahami
apa arti hidup yang sebenarnya.
Aku aktif di berbagai kegiatan
gereja. Sejak kecil aku dan saudara-saudaraku sudah diajarkan dan dibawa oleh
kedua orangtuaku untuk mengikuti misa gereja, yakni ‘sekolah minggu’. Dari situ
aku belajar tentang bumi dan penciptaannya dan bagaimana manusia itu ada di
muka bumi ini. berbagai nasihat tentang hidup aku dapatkan disana. Bagaimana
belajar berdoa, meminta ampun kepada Tuhan atas dosa-dosa kita, dan bahkan di
ajarkan apakah pengertian dosa itu secara umum. Untuk perayaan-perayaan gereja,
aku sering dipilih menjadi peserta drama, vocal group dan membaca liturgi
“pembacaan ayat-ayat alkitab yang dibacakan oleh beberapa anak secara
berurutan”. Tetapi yang paling sering adalah menjadi peserta vocal group. Dari
situ aku belajar mengatur nada-nada yang keluar dari mulutku secara otodidak.
Karena sampai sekarang pun untk membaca notnot balok aku tidak bisa. Aku hanya
mengikuti dan meniru nada yang aku dengar dari kaset atau orang yang menyayikan
sebuah lagu. Untungnya kau bisa dengan cepat meniru dan bahkan bermain-main
dengan nada-nada itu sendiri jika aku sedang bernyanyi seorang diri. Nah..dari
situlah awalnya aku ingin sekali menjadi seorang penyanyi. Tetapi niatku
berhenti setelah aku melihat bahwa keadaan keluargaku tidak mungkin mendukungku
untuk merah cita-citaku. Aku pun terus berkutat dengan buku-buku sekolah yang
harus aku selesaikan dengan nilai-nilai bagus. Sebenarnya, aku aku tidak begitu
bangga dengan nilai-nilai raport yang temen-temenku juga oranglain bilang
nilainya- bagus-bagus karena memang aku masih terus masuk dalam nominasi juara
di sekolah. Aku melihat itu bukanlah kepintaran..tetapi hanya buah hasil
ingatan atau hapalan semata. Itulah pendapatku tentang soal kepintaran saat itu
dan mungkin sekarang pun aku masih berpikiran seperti itu. Kepintaran buatku
adalah disaat kita tahu caranya dan bisa mewujudkan bagaimana cara untuk membahagiakan
orang lain dan bisa menghasilkan uang untuk menghidupi diri kita.
Selesai lulus sekolah menengah
(kejuruan), aku pun berusaha untuk meminta ijin orangtuaku untuk melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi, yakni kuliah. Tetapi ayah dan ibuku memberikan
pengertian kalau mereka belum bisa mewujudkan permintaanku. Waktu itu aku
sangat kecewa. Melihat teman-temanku bercerita tentang rencana mereka ingin
kuliah aku pun merasa kesal dan putus harapan. Tanpa sepengetahuan orangtuaku,
aku pun mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan akhirnya aku
pun lulus. Mereka tidak tahu akan hal itu. Aku hanya bisa melihat namaku
tercantum di koran itu tanpa bisa berbuat apa-apa, karena aku sadar sebesar apa
pun aku memaksa orangtuaku menguliahkan aku, mereka takkan bisa berbuat
apa-apa. Setelah matang berpikir dan menyusun rencana, aku pun melarikan diri
dari rumah dan pergi ke kota yang jauh dari desaku. Untuk sementara aku
menumpang di rumah sepupuku dengan perjanjian sepupuku tidak akan memberitahu
orangtua dan keluargaku dimana aku berada saat itu. Setelah aku mendapatkan
pekerjaan di sebuah hotel berbintang empat, aku pun pindah dan memilih untuk
ngekost di dekat dimana aku bekerja. Disitulah aku mulai menata hidup sebagai
seorang anak yang mencoba hidup mandiri. Saat itu juga muncul kembali semangatku
untuk mencapai cita-citaku sebagai seorang penyanyi. Namun aku tak tahu
bagaimana caranya. Aku hanya bisa menyimpan semangat itu kembali di dasar
hatiku. Setiap harinya aku disibukkan dengan pekerjaanku sebagai seorang
roomboy di tempat kerjaku. Tiga bulan berjalan, aku mendapat masalah di tempat
kerjaanku. Awalnya teman kerjaanku, seorang gadis berinisial ‘F’ yang juga
sebagai room maid di hotel itu dekat denganku. Awalnya aku kira dia dekat denganku
hanya sebagai teman saja. Tetapi lama kelamaan aku baru tahu dari temannya
kalau dia suka denganku. Setiap hari dia selalu membantuku membersihkan “making
room” kamar-kamar tamu meskipun kami tidak berada di lantai yang sama, tetapi
dia kerapkali membantuku untuk menyelesaikan pekerjaaanku. Akhirnya sipervisor
kami pun mendapati kami sedang mengobrol di sebuah kamar yang baru saja kami
bersihkan. Surat panggilan pun datang kepada kami berdua, dan akhirnya aku
memilih untuk keluar karena aku ingin si gadis itu tidak kehilangan
pekerjaannya. Aku sangat bersyukur bisa di kenalkan dengan perempuan itu. Dia
sangat perhatian terhadapku. Pernah terpikir olehku untuk berpacaran dengannya,
tetapi hal itu tidak pernah terjadi karena semenjak aku tidak bekerja di hotel
yang sama dengannya dia mulai bilang kalau dia ditaksir oleh seorang cowok yang
bekerja di tempatnya dan aku mendukung keputusannya untuk menerima saja cinta
pria itu meskipun aku tahu dia sangat kecewa karena aku mengatakan hal itu.
Untungnya dia mengerti kalau aku belum siap untuk berpacaran dan mungkin dia
baru sadar kalau aku memandang dia hanya sebatas teman atau sahabat saja.
Tetapi hari-hari berikutnya dia masih dekat sekali denganku hingga akhirnya aku
menghilang dan menjauh dari kehidupannya. Tetapi kabar yang terakhir aku terima
dia sudah menikah dengan pria yang dulu suka dengannnya. Aku pun bersyukur
karena dia bisa bahagia dengan laki-laki itu meskipun ada rasa cemburu yang
hinggap dihatiku saat mendengar dia telah menikah. Tetapi kecemburuanku bukan
karena dia tealh menikah, tetapi karena aku kehilangan perhatian dan rasa kasih
sayang yang dulu dia berikan kepadaku, meskipun hanya sebagais seorang teman
dekat, bukan pacar.
Aku pun akhirnya kembali
mendapat pekerjaan di sebuah hotel berbintang lima, satu bintang di atas hotel
yang dulu tempatku bekerja. Sambil bekerja aku pun mencoba mendaftarkan diri
untuk mengikuti test beasiswa untuk bisa kuliah di sebuah lembaga meskipun
hanya setara Diploma-I. Akhirnya aku diterima dengan biaya diskon 70% free
biaya kuliah. Aku pun menerima tawaran itu dan menikmati hari-hariku sebagai
anak kuliah dan sekaligus seorang karyawan hotel. Aku mencoba untuk lebih irit
lagi karena biaya hidup yang terus menerus meningkat. Aku pun mulai mengerti
arti hidup bahwasanya “hidup adalah tentang ditinggalkan dan meninggalkan”. Setelah
setahun aku bekerja di hotel itu, aku pun terpaksa meninggalkan teman-teman
yang sudah kuanggap keluarga sendiri karena aku memilih untuk pindah ke
jakarta, kota metropolitan yang banyak orang elu-elukan. Aku tertarik untuk
pindah ke Jakarta bukan karena kemewahan yang seperti orang bicarakan, tetapi
aku ingin menggapai cita-citaku sebagai seorang penyanyi. Satu orang pun
keluarga dan teman-temanku tidak tahu kalau aku pindah karena alasan itu. Yang mereka
pikir kalau aku ingin mencari pekerjaan yang lebih lumayan gajinya. Jauh di
lubuk hatiku, aku bekerja tak pernah terpikir untuk bekerja demi mendapatkan
gaji dan jabatan tinggi, tetapi aku mencari yang lain, yakni kedamaian di
hatiku. Aku mengikuti saja perjalanan hidupku tanpa keluhan.
Disini, di jakarta ini, aku
pun akhirnya numpang di rumah kontrakan saudaraku. Disini aku harus memutar
otak untk mendapatkan pekerjaan demi melanjutkan semua impianku. Aku pun
mencoba mencari pekerjaan dibantu saudaraku perempuan berinisial “K”. Sehari-harinya
aku diberikan nasihat oleh saudaraku tentang bagaimana berjuang hidup di kota
yang megah ini. Aku pun terus mencoba beradaptasi dengan kebudayaan dan
kehidupan yang memang agak asing bagiku. Semuanya memang seba ‘wah’ tapi aku
tidak begitu tertarik untuk masuk ke dalam dunia “wah” itu karena aku juga
sadar dengan kemampuan dan keadaaan keuanganku. untuk masalah biaya hisup aku
bergantung kepada kedua saudaraku yang ada di kota ini. Selama berbulan-bulan aku
tidak mendapatkan pekerjaan yang cocok. Teapi di balik keterpurukan keadaan
ekonomiku dan saudara-saudaraku aku banyak belajar dari kehidupan di kota
Jakarta ini. Aku melihat banyaknya bursa kerja yang menawarkan bantuan untuk
mencari pekerjaan bagi orang-orang penganguran sepertiku, namun mereka hanya
memanfaatkan orang-orang kecil seperti kami. Mereka meminta uang administrasi dahulu
sebelum mencari pekerjaan buat kami para pengangguran. Banyak orang bego yang
tertipu termasuk aku juga. Kenapa bilang tertipu karena uang tersebut mereka
pakai bukan untk menolong kami tetapi mengeruk keuntungan dari situ. Mereka anggap
itu sebagai gaji mereka sebagai penipu. Mereka ternyata hanya orang-orang yang
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mereka tahu banyak orang yang butuh
pekerjaan dan dengan iming-iming membantu mencarikan pekerjaan buat kami,
mereka mengumpulkan uang dengan cara menipu orang-orang kecil seperti kami. Untungnya
aku sigap dan tidak mau tertipu untuk kedua kalinya. Aku awas dan tidak mau
teriming-iming dengan kalimat-kalimat indah lowongan pekerjaan yang banyak
bertaburan di dalam majalah atau koran-koran. Tidak semuanya lowongan itu
menipu, tetapi aku kebanyakan dari mereka itu adalah penipu. Aku sering
memperhatikan lowongan-lowongan pekerjaan yang dibuat sangat menarik tetapi
untuk menarik orang-orang yang mudah ditipu, tetapi “orang” itu bukan aku lagi.
Untuk kesekian kalinya aku melihat ketidak adilan hidup berpihak pada
orang-orang lemah di sini, di kota Jakarta yang penuh dengan tebaran
pesona-pesona keindahan yang maya untuk orang-orang yang mudah tertipu. Butuh mental
dan kerja keras yang kuat untuk bisa bertahan hidup disini, apalagi orang-orang
pendatang seperti aku. Setelah selama sembilan bulan aku tidak mendapatkana
pekerjaan, aku pun berada pada pundak kejenuhan yang luar biasa. Saudara
perempuanku yang berada di kota Lampung pun menawarkan aku untuk pindah kesana.
Setelah aku berpikir matang, aku pun berangkat meninggalkan kota Jakarta yang
mewah itu. Sesampai disana aku pun mengalami hal yang serupa. Aku hanya bisa
pasrah saat itu, karena otakku belum bisa berpikir jernih. Aku hanya mengikuti
apa yang disarankan saudaraku. Aku pun setiap harinya membantunya menjaga
warung. Disana aku sedikit mendapat hawa baru karena aku mendapatkan
teman-teman baru. Meskipun mereka orang-orang kecil, mereka mampu membuatku
bertahan selama beberapa bulan di sana karena keramahan dan kebaikan mereka. Mereka
menyambut dan menerima kedatanganku dengan terbuka. Beda dengan keadaan kota
Jakarta yang dipenuhi dengan orang-orang yang super sibuk sehingga banyak hal
yang mereka lewatkan untuk dinikmati dalam kehidupan ini, yakni kerbersamaan
dan kedamaaian di hati. Itu bedanya tinggal di kampung dengan tinggal di kota. Aku
merasakan perbedaan yang sangat tajam. Namun...aku tinggal di desa itu tidak
lama karena keinginanku untuk mencapai cita-citaku. Aku pun kembali ke jakarta
untuk mencoba kembali keberuntunganku mendapatkan pekerjaan disana. Berkat kasih
Tuhan, tidak sampai sebulan aku pun mendapatkan pekerjaan disebuah Mall besar
sebagai seorang Sales Promotion Man. Awalnya aku tidak betah bekerja disana, karena
pemikiranku yang terlalu dangkal dimana aku menganggap pekerjaan SPM itu adalah
pekerjaan yang cocoknya untuk perempuan bukan untuk laki-laki. Tetapi dengan
pengertian yang diberikan oleh saudara-saudaraku dan juga pengalamanku, aku akhirnya
mengerti bahwasanya semua pekerjaan di muka bumi ini bisa dikerjakan baik
laki-laki maupun perempuan. Hanya satu yang tidak bisa dilakukan oleh
laki-laki, yakni melahirkan anak (he..he...he...).
bY: Gunawan Tambunsaribu_2010
Komentar